Hilangnya Emosi

Tanya KonselorCategory: RemajaHilangnya Emosi
Sky asked 4 years ago . Client detail : female, 16-18 y.o

Halo, terima kasih sebelumnya sudah menyempatkan waktu untuk membaca curhatan saya. Akhir-akhir ini, saya jadi kehilangan rasa ingin bersosial dengan orang-orang. Saya dulu tidak pandai bersosialisasi, tidak suka berbaur, namun tidak pernah segan mengobrol dan menolong orang, karena saya punya prinsip, tidak apa-apa kamu lelah, tidak apa-apa mereka datang ketika butuh saja, asal mereka bahagia, asal mereka senang. Karena itu, ada kesenangan sendiri ketika ada teman yang mengajak saya bicara, karena setidaknya, saya dianggap ada dan bisa dipercaya.
Namun begitu masuk SMA, saya jadi punya beberapa teman dekat, dan emosi saya jadi tak menentu. Saya yang tadinya pendiam jadi sedikit memberontak, lebih mudah bicara blak-blakan tanpa difilter. Yang tadinya fine-fine saja saat diajak bercakap malah saya sendiri yang ingin cepat mengakhiri percakapan tersebut. Saya juga jadi mudah kesal ketika teman-teman menceritakan masalah mereka, padahal biasanya saya mendengarkan dengan antusias karena saya ingin membuat mereka tenang.
Mungkin ada bagian dalam diri saya yang lelah karena tidak bisa mengungkapkan isi hati saya semudah orang lain selama bertahun-tahun. Mungkin ada bagian dalam diri saya yang mulai lelah dengan orang-orang palsu yang datang dan pergi. Mungkin juga karena saya tidak biasa mendapat afeksi sebesar yang teman-teman baru saya berikan, sehingga ketika merasakannya, bukan rasa hangat yang saya dapatkan, tapi ketidakpantasan dan jijik. Malah muncul dorongan untuk menjauh dari orang-orang baik tersebut.
Karena hal tersebut, perlahan saya jadi semakin menjauh dari orang-orang. Saya jadi tidak mau berlama-lama, berbicara terburu-buru, dan memberi gestur tak nyaman ketika bercakap. Saya juga enggan melakukan kontak mata ketika bicara, dan mulai tidak mempercayai orang. Mulai berasumsi bahwa tidak ada gunanya memiliki orang yang menyayangi saya jika saya saja tidak bisa mempercayai mereka.
Diperparah dengan quarantine, jiwa saya makin kosong, dan saya lebih merasa tidak nyaman dengan rasa kosong ini dibandingkan dengan rasa sakit dan tertekan begitu mengalami tekanan mental selama SMP. Saya jadi kehilangan simpati, tak peduli dengan orang, dan tidak merasakan apapun melihat orang lain kesusahan. Tidak ada dorongan untuk membantu ataupun meringankan beban mereka, dan saya heran kenapa bisa seperti itu. Ketika saya merasakan bahagia, tidak ada euforia yang sering membuncah dalam dada. Ketika hal menyeramkan terjadi, saya tidak merasa takut. Ketika menulis ini pun, saya seolah kehilangan emosi. Tidak sedih, tidak putus asa, melainkan hampa. Benar-benar hampa, dan saya ingin mengembalikan rasa-rasa normal itu. Saya lebih memilih untuk merasakan tekanan itu lagi daripada kosong seperti ini.
Terima kasih sudah membaca, feel free to suggest and share. Have a good day!

1 Answers
Firyana Nabilah Staff answered 3 years ago

 
Halo, Sky! Terima kasih ya sudah bersedia berbagi cerita dengan kami. Tentu rasanya bingung ya mengapa berbagai emosi baik positif atau negaatif rasanya sulit untuk dapat kamu rasakan. Mungkin, ini adalah fase pencarian jati dirimu atau bisa jadi pula ada sesuatu yang terjadi sehingga kamu merasa tidak perlu lagi memiliki bermacam emosi. Kamu bisa mencoba untuk melakukan hal di bawah ini agar lebih bisa mengenal, memahami, dan menerima diri serta emosi yang menyertainya:

  1. Berusahalah untuk terbuka

Tentu bukan hal yang mudah ya untuk bisa terbuka dengan sekitar. Maka mulailah untuk terbuka dengan diri sendiri terlebih dahulu. Kamu bisa mencoba menulisnya di buku harian, catatan di HP, menuangkannya dalam bentuk tulisan, lagu, atau gambar juga bisa kamu coba. Tuangkanlah secara rutin setiap hari, hingga kamu mulai nyaman dengan hal tersebut, kamu bisa mencoba untuk membuka diri untuk bercerita kepada orang terdekat yang dapat dipercaya. Jika masih merasa sulit bercerita dengan orang terdekat, kamu bisa juga mengubungi tim kami melalui whatsapp bersama teman bicara atau melalui website ini atau mengubungi guru/dosen bimbingan konseling di sekolah/kampus/psikolog/psikiater.

  1. Bergaul dengan lingkungan yang suportif

Kami sangat senang ketika membaca bagian cerita ketika kamu berusaha untuk bergaul dengan teman sebaya. Namun, tentu kamu tidak perlu cocok dengan mereka semua ya. Tidak ada salahnya jika kamu memilih beberapa di antara mereka yang memang membuat kamu nyaman. Carilah teman yang suportif, yaitu teman yang siap saling mendukung satu sama lain dalam berbagai situasi, baik senang ataupun sedih, serta mau bersama berubah menjadi lebih baik.

  1. Jalin ikatan dengan keluarga

Keluarga adalah orang terdekat yang selalu ada sejak kita kecil. Tidak ada salahnya untuk memulai membangun kelekatan dengan mereka baik secara fisik dan emosional. Mulailah dengan membicarakan hal yang sedang ramai diperbincangkan secara ringan, menonton TV bersama, dan melakukan hal menarik lainnya.

  1. Sadarilah jika tidak semua hal bisa berjalan sesuai rencana dan keinginan kita

Kadang kala kita sudah berusaha sebaik mungkin tetapi sekitar kita tidak membalasnya dengan baik atau rencana kita tidak berjalan sesuai dengan harapan. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Itu semua merupakan hal yang wajar. Kekecewaan dan kesedihan pasti akan muncul, tetapi cobalah untuk menyadari jika memang tidak semua hal bisa berjalan sesuai rencana dan keinginan kita. Cukuplah fokus dengan hal yang masih bisa diperbaiki dan dikontrol dengan baik.

  1. Perbanyak beribadah dan mendekatkan diri dengan Tuhan

Melibatkan Tuhan juga merupakan salah satu upaya agar kita bisa lebih memahami diri sendiri. Cobalah untuk bercerita kepada-Nya di sela ibadah dan teruslah berdoa serta meminta pertolongan.

  1. Mencari bantuan profesional

Namun, jika kamu sudah mulai merasa hidup begitu hampa, kehilangan gairah, kehilangan harapan hidup,  ada gangguan tidur dan makan, terganggunya kualitas hidup, dan ada keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain, maka ini adalah saatnya untuk mencari bantuan ke tenaga profesional. Bertemu dengan psikiater juga tidak selalu berakhir dengan diminta meminum obat, kamu justru bisa dipertemukan dengan kelompok dukungan teman sebaya yang memiliki masalah seurpa denganmu. Selain itu, ada juga psikoterapi di mana secara perorangan atau berkelompok, kamu akan diajak berdiskusi di bawah arahan profesional untuk menggali dan memahami diri, perasaan, dan permasalahanmu dengan lebih baik.
Semoga apa yang kami sampaikan ini bisa membantumu menghadapi permasalahanmu. Apabila masih ada yang terasa mengganjal, kamu bisa kembali bertanya di sini, kami akan dengan senang hati menjadi teman berbagi. Terima kasih! 😊
Salam bahagia dari kami Tim Peduli Remaja Indonesia

  • TIM PEDULI REMAJA INDONESIA –