Dia hadir saat saya selalu berpikir untuk bunuh diri

Tanya KonselorCategory: PsikologiDia hadir saat saya selalu berpikir untuk bunuh diri
Indra Yanuanda asked 3 years ago . Client detail : male, 25-30 y.o

Panggil saja saya Indra, pemuda putus asa karena cinta, kehilangan pekerjaan, bangkrut dan karena teman masa kecil. Jadi ceritanya begini…
 
Dulu saya memiliki mental yang lebih kuat dari baja dan lebih kokoh dari gunung, tapi sekarang saya sangat putus asa dan bahkan selalu berpikiran untuk mengakhiri hidup, lucu memang.
Itu semua berawal dari seorang wanita yang berprofesi sebagai kasir di minimarket, saya diam-diam menaruh hati kepadanya tanpa tau kalau dia akan menikah dan ketika saya mengutarakan perasaan saya, dia menerima saya. Tapi saya hanya menjadi masalah dalam rencana pernikahannya. Saat saya mengetahui itu saya berpikir kalau perempuan tidak hanya dia, masih banyak perempuan di luar sana.
Tanpa memusingkan hal itu, saya memilih untuk meniti karir terlebih dahulu sebelum mengurusi masalah cinta, karena saya pikir itu lebih penting daripada masalah percintaan. Tapi tidak lama kemudian munculah pandemi covid-19 dan saya pun diberhentikan dari perusahaan tempat saya bekerja padahal beberapa bulan lagi saya akan diangkat menjadi karyawan tetap.
Saat itu juga saya berpikir bahwa perusahaan tidak hanya satu, masih banyak perusahaan lain yang membutuhkan karyawan. Saya pun dengan semangat mencari pekerjaan kesana-kesini tapi selalu berujung pada tahap tes dan interview, akhirnya saya tidak pernah diterima diperusahaan manapun.
Saya dengan sangat semangat berkata pada diri saya sendiri “oke, mungkin saya harus jadi wirausaha, saya harus membangun usaha saya sendiri”. Tapi semangat itu menghilang ketika kegagalan terus-menerus mendatangi saya.
Akhirnya, semua yang saya alami ini membuat saya frustasi dan saya selalu berpikir untuk mengakhiri hidup. Saya selalu berpikir mana yang lebih baik, gantung diri, merobek perut dengan pisau, atau melompat dari jembatan…?
Saat saya memegang tali dan sudah memilih tempat untuk menggantung diri, ada sesuatu yang berkata dalam diri saya “apa ini pilihan yang tepat…?”. Saat saya memegang pisau dan saya sudah membulatkan tekad untuk merobek perut saya, sesuatu dalam diri saya juga berkata “belum saatnya kamu mati, di dunia ini masih banyak hal yang belum kamu rasakan…!!” Begitu juga saat saya menemukan jembatan yang sempurna untuk melompat mengakhiri hidup saya, sesuatu dalam diri saya muncul lagi dan selalu memberikan keraguan pada tekad saya untuk mengakhiri hidup.
Beberapa waktu saya lalui dengan rasa hampa, benci pada diri sendiri, dan putus asa. Saya benar-benar kehilangan tujuan hidup.
Saya berpikir “oke, kali ini saya akan benar-benar mengakhiri hidup saya, tapi sebelum itu saya harus meminta maaf atas semua kelasahan saya terlebih dahulu kepada keluarga dan kerabat saya”.
Saya pun mengunjungi kediaman keluarga dan kerabat saya satu per satu untuk meminta maaf atas semua yang telah dan yang akan saya lakukan, mungkin keluarga saya sudah sadar ada sesuatu yang tidak beres dalam diri saya.
Sampai suatu ketika saya mengunjungi rumah kakak saya dengan tujuan untuk meminta maaf atas semua kesalahan saya sebelum saya bunuh diri. Rumah kakak saya adalah warisan dari nenek saya dan di rumah itu juga saya menghabiskan masa kecil saya dengan menjahili kakak saya dan bermain dengan teman masa kecil saya.
Saat saya merasa urusan saya dengan kakak saya sudah selesai, saya berpikir “oke, saya sudah meminta maaf pada keluarga dan kerabat saya. Akhirnya saya akan membunuh diri saya sendiri dan akan hidup di dunia yang berbeda. Neraka mungkin…”
Ketika saya berpamitan dan menyalakan motor saya untuk segera pulang dan mengakiri hidup, saya melihat dia. Dia teman masa kecil saya, dia yang dulu selalu tertawa bersama saya, dan dia yang dulu selalu saya cari untuk diajak bermain.
Tapi sekarang dia yang selalu mengganggu pikiran saya, sekarang dia yang selalu muncul dalam pikiran saya ketika saya akan mengakhiri hidup saya.
Sekarang, sebanyak apapun saya berpikir untuk mengakhiri hidup, sebanyak itu juga dia muncul dalam pikiran saya. Terakhir kali saya akan bunuh diri, saya teringat wajahnya dan tanpa sadar saya pun menangis “aah saya ingin bertemu dengannya, saya ingin ngobrol dengannya, saya ingin bersenda gurau dan bermain seperti dulu lagi dengannya…”
Suatu saat, saya bertemu lagi dengan dia tapi saya tidak menyapanya karena saya merasa malu pada diri saya sendiri yang sedang berada di titik terendah dalam hidup saya. Walaupun saya sangat ingin berkata “hai, saya Indra. Kamu masih inget saya kan…?” Tapi kata-kata ini hanya tertahan di tengorokan saya.
Keinginan saya, saya ingin melihat wajahnya lagi, saya ingin tertawa dengannya lagi, dan saya ingin terus berada disampinya. Hanya itu saja.
Tapi setelah saya dipermainkan oleh perempuan, diberhentikan dari pekerjaan, beberapa kali bangkrut dalam berwirausaha dan ingin bunuh diri, saya tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal yang sangat ingin saya lakukan, yaitu menyapanya.
Akhirnya, semuanya menjejali dada saya sampai saya merasa sesak dan rasanya saya hampir gila dibuatnya. Saat ini, dalam kepala saya, hanya ada satu pertanyaan “apakah saya harus mengakhiri hidup saya atau mempertaruhkan semuanya lagi untuk masa depan…?”